RESORT TANJUNGPASIR

Menus

  • Home
  • About Us
  • Galleries
  • Ecotourism
  • Reports

    Senin, 30 Januari 2012

    Wellcome to the RPTN Tanjungpasir blog.

    RPTN Tanjungpasir is one of resorts (unit of field management) which belongs to Alas Purwo National Park. It discovers ±13,638.60 ha areas including coastal forest and lowland rainforest where divided into sanctuary, utilization and wildernes  zone. The area could be reached by boat; ±1,5 hours from Muncar.
    RPTN Tanjungpasir is buffered by Bali Strait and Indian Ocean. Many daily fishery activities are rolling on the surrounding area. This resort is focusing conservation activities to the protection of ecosystem against illegal logging and hunting.

    As an organization, the resort is managed by 5 rangers and equipped with boats, offices and small scale weapons.

    We hope to share our activities by this blog and aiming to have some comments for a better management. Please feel free to share with us.


    Ganbate kudasai!!


Minggu, 29 Januari 2012


ESENSI PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN (SIM) DALAM IMPLEMENTASI RESORT BASED MANAGEMENT (RBM)

(Wahyu Murdyatmaka, Okt 2011)


I. ISU PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DI INDONESIA

Davis (2007), memperkirakan bahwa 98% hutan di Indonesia akan rusak pada tahun 2022. Kerusakan tersebut diakibatkan oleh illegal logging pada 37 daerah. Konversi lahan hutan menjadi areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan juga memicu kerusakan hutan secara cepat. Faktor lainnya adalah kebakaran hutan yang berdampak negatif pada kelestarian hutan seperti yang terjadi di Taman Nasional Kutai (1997-1998); sekitar 95% kawasannya rusak akibat kebakaran hutan.

Laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta ha/ tahun atau sebanding dengan 7,2ha/menit. Dalam kurun lima tahun terakhir, kerusakan hutan di Indonesia mengakibatkan bencana alam seperti longsor, banjir dan efek badai siklon tropis, (Dephut, 2007). Kawasan hutan yang relatif masih utuh hanya dapat dijumpai di taman-taman nasional, meskipun illegal logging, perambahan dan perburuan satwa liar terjadi hampir pada keseluruhannya .

Sampai saat ini, Indonesia memiliki 50 kawasan taman nasional (TN) dengan tipologi biofisik dan kondisi kultural masyarakat penyangga yang berbeda-beda. Keunikan masing-masing taman nasional berbanding lurus dengan beragamnya permasalahan yang dihadapi. Minimnya kapasitas SDM, baik secara kuantitas maupun kapabilitasnya serta terbatasnya anggaran menjadi isu klasik yang selalu ada.

Seiring dengan perkembangan pembangunan, konflik kepentingan barbau politis maupun ekonomi seringkali menjadi preseden buruk bagi pengelolaan taman nasional. Klaim kawasan oleh masyarakat-masyarakat adat, perusakan infrastruktur pengelolaan dan praktek penyuapan adalah fakta-fakta umum yang sering terjadi. Kondisi tersebut sering diperparah dengan lemahnya leadership yang berimplikasi terhadap terbatasnya jejaring kerja dan minimnya dukungan penegakan hukum. Untuk itu, grass root modelling atau back to basic merupakan salah satu ‘’jawaban’’ penting bagi pengelolaan taman nasional. Kuncinya adalah dengan memberikan penguatan pada tingkat pemangkuan kawasan, yaitu melalui optimalisasi fungsi resort.


II. KARAKTER FILOSOFIS DAN CASES STUDY IMPLEMENTASI RBM

Resort based management (RBM) menjadi komoditas strategis pengelolaan taman nasional ketika Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Alas Purwo (TNAP) mampu menunjukan ‘’perubahan’’ signifikan dalam hegemoni resort pada pengelolaan kawasan (2007-2009). Melalui RBM, efektivitas pemanfaatan anggaran dan peningkatan kapasitas kelembagaan dapat tercapai.

Sebenarnya “resort” adalah istilah kuno yang telah ada sejak penunjukan lima taman nasional pertama di Indonesia. Resort merupakan dikotomi unit pengelolaan terkecil sebagai pemangku kawasan. Namun pada kenyataannya, resort hanya terposisikan sebagai “pelengkap” struktur organisasi tanpa guideline pengelolaan dan tidak didukung dengan operational budget yang memadai.

Melalui diskusi dan perumusan yang panjang, TNGHS dan TNAP berkreasi mengembangkan pola RBM. Tahun demi tahun sejak RBM diimplementasikan (2008), upaya perlindungan dan pengawetan kawasan terlihat semakin baik. Isu illegal logging, perburuan satwa dan pencurian bambu di TNAP dapat terselesaikan dengan fantastis. Sementara itu, potensi SDAH dan upaya-upaya konservasi jenis dan kerjasama pengelolaan dengan berbagai pihak menjadi sangat berkembang di TNGHS. Good governance dan akuntabilitas pemanfaatan anggaran sebagai fenomena ‘’langka’’ dalam pengelolaan taman nasional ternyata dapat diwujudkan oleh kedua UPT tersebut.

Pada akhirnya, Ditjen PHKA melalui Direktorat KKBHL mencuatkan RBM sebagai isu strategis pengelolaan taman nasional di Indonesia. Sejak 2010, penyusunan pedoman RBM, pengembangan sistem informasi manajemen dan lokalatih RBM dengan pelibatan akademisi, praktisi, LSM dan pemerhati konservasi telah dilakukan. Target yang diinginkan adalah penerapan RBM di seluruh taman nasional pada 2014.


III. MAKNA KRUSIAL SISTEM INFORMASI MANAJEMEN (SIM)

The National Patient Safety Foundation melalui survei telepon tahun 1997 terhadap 1.513 penduduk di AS, 635 orang (42%) mengatakan pernah menjadi korban kesalahan medis, 40% di antaranya dalam bentuk salah diagnosis (MK, 2010). Efek yang ditimbulkan secara psikologis adalah jebakan-jebakan: penyimpulan cepat, penilaian tidak proporsional, keberpengaruhan dan status quo. Efek pragmatis-traumatis tersebut merupakan gambaran ketika kebijakan pengelolaan taman nasional menjadi absurb akibat salah diagnosis.

Dan bagaimana cerita ketika informasi menjadi salah satu kekuatan yang telah mengangkat kota mati menjadi kota harapan. Tahun 1981, cuaca dingin -13°C menghantam Kamikatsu, desa terkecil di pulau Shikoku; 40km dari Tokushima, jepang. Kondisi ini mematikan sektor ekonomi rakyat yang hampir seluruhnya adalah petani jeruk. Setelahnya, warga hidup tanpa harapan, generasi muda cenderung menjadi urban di kota lain, yang tersisa hanyalah para manula.

Namun kondisi ini berbanding terbalik pada tahun 2006, sekitar 3.957 wisatawan mendatangi desa ini untuk melihat langsung fenomena sukses desa ini. Ialah Irodori, perusahaan anak desa yang telah mampu membalikkan keadaan 360°. Melalui pengembangan sistem informasi (fiber optik) terpadu antar warga, bisnis penjualan “daun” sebagai ornamen hidangan di restoran-restoran mahal berjalan. Keuntungan yang dibukukan mencapai Y260 juta (±Rp. 26 miliar). Irodori melakukan analisis kegiatan pasar, menyampaikan kepada para petani secara online, dan petani memasarkan ‘’daun’’-nya via Japan Agricultur (JA). Semua daun yang dijual berasal dari alam sekitar mereka. Setelahnya, Zero Waste Academy (NGO), mengembangkan biomass project dan ecotourism dengan 398 warga (anggota), 17 pengemudi dan mendapatkan kunjungan 1.214 orang (OIC, 2009).

Data dan informasi yang valid merupakan instrumen vital sebagai kajian tindak manajemen. Ibarat seorang kepala balai (taman nasional) seorang dokter, maka dia akan menyelamatkan ekosistem kawasan ketika membuat keputusan yang tepat. Jika salah, tidak hanya ekosistem yang rusak tetapi tatanan organisasi dan konstelasi linier lainnya akan berantakan. Hal ini sering menjadi fenomena ‘’lucu’’ di lapangan, ketika petugas menjadi apatis; “siapapun kepala balai-nya ya tetap gitu-gitu aja, ujung-ujungnya…..”.

SIM merupakan komponen manajemen yang sangat penting pada organisasi dalam skala apapun, termasuk taman nasional. SIM juga-lah yang mampu mewujudkan pengelolaan sistemik, akuntabel dan menyokong pengambilan keputusan secara tepat. Dengan memadukan variabel spasial dan non spasial, dinamika kawasan akan terinformasikan secara jelas dan faktual. Berikut adalah skema SIM yang lazim digunakan, seperti SILOKA yang telah dikembangkan di TNAP.




Secara umumdapat digambarkan bahwa SIM akan mampu menunjukkan aktivitas detail dan pergerakanpetugas pada tingkat resort. Selanjutnya SPTN menganalisis secara tematikmasing-masing jenis informasi baik secara spasial maupun statistikal sebagaikondisi terkini kawasan. Pada level balai, divisi-divisi teknis yang berkaitandengan jenis informasi tersebut akan mensintesis menjadi asumsi makro sebagaibahan keputusan pengelolaan kepala balai.

Sebelum menjalankan SIM, investasi penting yang perlu dibangun adalah ‘’KELEMBAGAAN’’ untuk evektifnya pemanfaatan SIM. Organisasi balai dan balai besar taman nasional tertuang dalam Permenhut nomor P.03/Menhut-II/2007, tetapi hanya mengatur elemen struktural dan fungsional. Dengan demikian, organization capacity building merupakan kewenangan penuh kepala balai. Masalah yang seringkali muncul adalah tidak berjalannya fungsi DSS dan expert system dalam ranah manajerial karena tidak adanya pen-‘’divisian’’ yang evektif. Kondisi ini berpeluang membuat RBM hanya menjadi slogan pengelolaan saja tanpa memiliki manfaat jelas dan pengelolaan kawasan akan kembali ke dogma ‘’project based management’’.



Sementara itu, secara teknis pengelolaan SIM dilakukan oleh organisasi administrator di tingkat seksi dan balai. Organisasi ini dibentuk melalui SK kepala balai dengan fungsi utama pengelolaan perangkat keras dan jaringan yang meliputi; sortasi, entry dan rekonsiliasi data, pemeliharaan perangkat dan jaringan serta publikasi data dan informasi.


I. ESSENTIAL APPROACH

Pendekatan penting dalam pemanfaatan SIM untuk implementasi RBM antara lain:
1. Peningkatan kapasitas organisasi: SDM, kelembagaan dan jejaring kerja
2. Penerbitan regulasi dan pedoman implementasi RBM
3. Pendidikan dan pelatihan terkait RBM
4. Dukungan pembiayaan
5. Publikasi

Pustaka


Davis, C., 2007. Indonesian Deforestation Threatens Endangered Orangutans.http://earthtrends.wri.org/updates/node/158, diakses tanggal 5 Juli 2008. WorldResources Institute, Washington D.C USA, 2007.
Dephut, 2007. Rekapitulasi Data Kerusakan Hutan Tahun 2007. Ditjen PHKA - Dephut,2007. www.dephut.go.id/INFORMASI/ II_07.pdf, diakses tanggal Juli 2008.
MK, 2010. Empat Jebakan Psikologis Penyebab SalahDiagnosis. http://majalahkesehatan.com/4-jebakan-psikologis-penyebab-salah-diagnosis/, diakses tanggal 5 Oktober 2011.
OIC, 2009. Course Material on Planning and Managementof Ecotourism in Tropical and Subtropical Area. JICA Training Course Program,JFY 2009. Okinawa International Center, Japan.